Banyakcara yang di lakukan oleh seorang pedagang agar pelanggan nya tetap betah,dan ketagihan untuk kembali berbelanja, dan hal ini tanpa di sadari oleh seorang wanita penjual bensin di kampung saung kai - serang panjan-subang, sehabis transaksi, wanita penjual bensi ini selalu mengucapkan terimakasi pada pembeli dengakata HATUR TANK-YOU, dan
CaraMengatasi Sifat Sombong Menurut Imam al-Ghazali. By Redaksi 1 Agustus 2021. 0. Sikap sombong adalah memandang diri berada di atas kebenaran dan merasa lebih di atas orang lain. Sombong bisa kita lihat dan rasakan, baik dari segi cara berbicara, bersikap, dan pendirian seseorang. Tentu merasa tidak nyaman kalau ada orang-orang sombong di
janganlupa subscribe kunjungi IG aku @Aisyah_____sfr
Vay Tiá»n Nhanh. DEPOK â Memandang wajah ulama atau orang-orang saleh itu berkah. âTerdapat sejumlah rahasia memandang wajah ulama yang berserakan dalam sabda Nabi SAW dan penjelasan ulama,â kata Dr KH Syamsul Yakin MA saat mengupas Kitab Tanqihul Qaul di Masjid Jami Baitussalam Perum Puri Depok Mas, Depok, Jawa Barat, Ahad 17/3. Siaran pers yang diterima Ahad 17/3 menyebutkan, pengajian rutin itu diawali Shubuh berjamaah hingga syuruq terbit matahari. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Akhyar, Parung Bingung, Depok itu menambahkan, hal ini seperti terungkap, misalnya, dalam dalam Lubab al-Hadits, Jalaluddin al-Suyuthi, yang dikomentari oleh Syaikh Nawawi Banten dalam Tanqihul Qaul. Pertama, dalam Lubab al-Hadits, Jalaluddin al-Suyuthi mengutip hadits Nabi SAW yang bersabda, âBarangsiapa yang menatap wajah seorang ulama kendati sekali pandangan saja, lalu hal itu membuatnya gembira, maka Allah menciptakan dari pandangan itu satu malaikat yang memohonkan ampun untuk dirinya hingga hari kiamatâ. Kedua, seperti diungkap kembali oleh Syaikh Nawawi Banten dari kitab Riyadh al-Shalihin, bahwa Ali Ibn Abi Thalib berkata, âMemandang wajah seorang ulama adalah ibadah. Lalu berpendar cahaya dalam pandangan itu dan terang cahaya di dalam hatinya. Ketika seorang ulama mengajarkan ilmu, maka satu tema yang diajarkan berhadiah satu istana di surgaâ. "Bagi yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya, akan mendapatkan hadiah serupaâ. Ketiga, Nabi SAW bersabda, âBarangsiapa yang memuliakan seorang ulama, sungguh ia telah memuliakan akuâ. Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, âKarena ulama adalah kekasih Nabi SAWâ. Lalu Nabi SAW melanjutkan, âBarangsiapa yang memuliakan aku, sungguh ia telah memuliakan Allah.â Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, âKarena Nabi SAW adalah kekasih Allah SWTâ. Nabi SAW bersabda lagi, âBarangsiapa yang memuliakan Allah, maka ia akan bertempat tinggal di surgaâ. Surga itu sendiri adalah tempat tinggal para kekasih Allah SWTâ, demikian tulis Syaikh Nawawi Banten. Keempat, terkait dengan hal ini Nabi SAW bersabda, âMuliakanlah ulama karena mereka adalah pewaris para nabi. Barangsiapa yang memuliakan mereka, sungguh ia telah memuliakan Allah dan Rasul-Nyaâ. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi bersumber dari Jabir. Kelima, Nabi SAW bersabda, âSeorang ulama yang sedang tidur lebih utama ketimbang orang bodoh yang sedang beribadahâ. Hadits ini menurut Syaikh Nawawi Banten maksudnya adalah bahwa seorang ulama yang sedang tidur yang memperhatikan tata aturan keilmuan lebih utama ketimbang orang bodoh yang sedang beribadah namun tidak memahami tata aturannya. Keenam, lebih tegas lagi, Nabi SAW jelaskan, âTidur dengan berdasar ilmu lebih baik ketimbang shalat berdasar kebodohanâ. Hadits ini diwayatkan oleh Abu Nuâaim dengan sanad dhaif. Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, âKarena orang yang bodoh terkadang menduga yang membatalkan itu dianggap sah dan yang dilarang itu sebagai yang dibolehkanâ. Ketujuh, menurut Dirar Ibn al-Azwari al-Shahabi, âBarangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan penuh kebodohan, maka potensi merusak lebih besar dari memperbaiki. Watsilah Ibn al-Asqaâa juga berkata, âOrang yang beribadah tanpa ilmu fikih ibarat sekawanan keledai penggiling tepungâ.
Orang shaleh punya aura positif. Dan aura itu bisa menular kepada orang yang memandangnya SEBAGIAN besar orang beranggapan, bahwa serius dalam belajar di antaranya adalah membawa kertas dan pena. Catat, garisbawahi, semua penjelasan penting sang ulama yang menjadi guru. Namun, tidak demikian halnya dengan Abu Bakar Al-Muthawiâi. Ia lebih suka memandang wajah sang ulama hingga lembut dan tenteram hatinya. Selama 12 tahun ia aktif mengikuti majelisnya Imam Ahmad. Mestinya, catatannya sudah berlembar-lembar, sebagai bukti bahwa ia serius mengikuti majelis tersebut. Ternyata tidak. Jangankan selembar, secuil pun ia tak punya catatan. Ia datang memang bukan untuk mencatat. Ia datang hanya karena ingin memandang Imam Ahmad. Itu saja. Lebih âgilaâ lagi, Muthawiâi tidak sendiri. Mayoritas yang datang di majelis itu seperti Muthawiâi, cuma ingin menikmati wajah Sang Imam. Padahal, yang hadir tak kurang dari 5 ribu orang. Dari jumlah tersebut, yang kelihatan aktif mencatat sekirar 500 orang. Demikian Ibnu Al Jauzi mengisahkan Manaqib Imam Ahmad, 210. Seorang perempuan cantikah Imam Ahmad? Jelas bukan. Imam Ahmad adalah seorang ulama yang menyandang gelar salah satu imam mazhab ternama. Majelisnya adalah majelis hadits, karena beliau memang ahli hadits. Tak heran bila majelis pengajiannya menjadi rujukan banyak orang. Demikian juga kitab-kitabnya. Namanya harum hingga sekarang, bahkan sepanjang masa. Ingat kepada Allah Kembali kepada Muthawiâi, apa yang ia lakukan bukanlah sia-sia. Tetapi ada dasarnya. Orang shaleh punya aura positif. Dan aura itu bisa menular kepada orang yang memandangnya. Jelasnya, ia bisa membangkitkan semangat untuk meningkatkan amal kebaikan, apalagi saat keimanan sedang menurun. Itu pernah dilakukan oleh Abu Jaâfar bin Sulaiman, salah satu murid Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, âJika aku merasakan hatiku sedang dalam keadaan qaswah keras, maka aku segera pergi untuk memandang wajah Muhammad bin Wasiâ Al Bishri. Maka hal itu mengingatkanku kepada kematian.â Imam Malik sendiri juga melakukan hal yang sama, tatkala merasakan qaswah dalam hati. Beliau berkisah, âSetiap aku merasakan adanya qaswah dalam hati, maka aku mendatangi Muhammad bin Al Munkadar dan memandangnya. Hal itu bisa memberikan peringatan kapadaku selama beberapa hari.â Dengan demikian, datang dan hadirlah kepada para ulama, terutama yang mengisi majelis-majelis ilmu, pandanglah wajah mereka untuk melunakkan hati dari kerasnya hati qoswah. Atau setidak-tidaknya, berdekat-dekatlah dengan wajah orang-orang yang shaleh, karena seperti disampaikan dalam bait syair populer masa kini, yakni âTombo Atiâ alias obat hati, yang ketiga adalah berkumpul dengan orang-orang yang shaleh. âKaping telu wong kang sholeh kumpulono.â*/Abu Ilmia
Abu Bakar Al Muthawiâi selama dua belas tahun selalu aktif mengikuti majelis Imam Ahmad. Di majelis tersebut hadits tersebut Imam Ahmad membacakan Al Musnad kepada putra-putra beliau. Namun, selama mengikuti mejalis tersebut, Al Muthawiâi tidak memiliki catatan, walau hanya satu hadits. Lalu, apa yang dilakukan Al Muthawiâi di majelis itu? Beliau ternyata hanya ingin memandang Imam Ahmad. Ternyata, tidak hanya Al Muthawiâi saja yang datang ke majelis hadits hanya untuk memandang Imam Ahmad. Mayoritas mereka yang hadir dalam majelis tersebut memiliki tujuan yang sama dengan Al Mathawiâi. Padahal jumlah mereka yang hadir dalam majelis Imam Ahmad saat itu lebih dari 5000 orang, namun yang mencatat hadits kurang dari 500 orang. Demikian Ibnu Al Jauzi mengisahkan Manaqib Imam Ahmad, 210. Apa yang dilakukan Al Muthawiâi, bukanlah hal yang sia-sia. Karena, memandang orang shalih bisa memberikan hal yang positif bagi pelakunya. Memandang orang shalih, bisa membangkitkan semangat, untuk meningkatkan amalan kebaikan, tatkala keimanan seseorang sedang turun. Sebagaimana dilakukan oleh Abu Jaâfar bin Sulaiman, salah satu murid Hasan Al Bashri. Beliau pernah mengatakan,âJika aku merasakan hatiku sedang dalam keadaan qaswah keras, maka aku segera pergi untuk memandang wajah Muhammad bin Wasiâ Al Bishri. Maka hal itu mengingatkanku kepada kematian.â Tarikh Al Islam, 5/109. Imam Malik sendiri juga melakukan hal yang sama tatkala merasakan qaswah dalam hati. Beliau berkisah,âSetiap aku merasakan adanya qaswah dalam hati, maka aku mendatangi Muhammad bin Al Munkadar dan memandangnya. Hal itu bisa memberikan peringatan kapadaku selama beberapa hari.â Tartib Al Madarik, 2/51-52. Imam Al Hasan Al Bashri sendiri dikenal sebagai ulama yang memandangnya, membuat pelakunya ingat kepada Allah, sebagaimana disebut oleh ulama semasa beliau, yakni Ibnu Sirin. Ulama lainnya, yang hidup semasa dengan beliau, Atsâats bin Abdullah juga mengatakan,âJika kami bergabung dengan majelis Al Hasan, maka setelah keluar, kami tidak ingat lagi terhadap dunia.â Al Hilyah, 2/158. Jika demikian besar dampak positif yang diperoleh saat seorang memandang wajah orang-orang shaleh, maka melakukannya dihitung sebagai ibadah, karena telah melaksanakan saran Rasulullah. Dimana, suatu saat beberapa sahabat bertanya, âKarib seperti apa yang baik untuk kami?â Rasulullah menjawab,âYakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah.â Riwayat Abu Yaâla, dihasankan Al Bushiri. Sebagaimana beliau juga bersabda, âSesungguhnya sebagian manusia merupakan kunci untuk mengingatkan kepada Allah.â Riwayat Ibnu Hibban, dishahihkan oleh beliau. Tak mengherankan jika Waqiâ bin Jarah menilai bahwa memandang wajah Abdullah bin Dawud adalah Ibadah. Abdullah sendiri adalah seorang ahli ibadah di Kufah saat itu. Tahdzib At Tahdzi, 7/296. Lantas, bagaimana bisa, hanya dengan memandang orang shalih, maka pelakunya bisa ingat kepada Allah? Sebenarnya penalaran terhadap masalah ini tidak cukup susah. Kadang dalam kehidupan sehari-hari kita memiliki teman yang amat suka terhadap permainan sepak bola, pembicaraannya tidak pernah keluar dari kompetisi sepak bola dan para pemainnya, baju yang dipakai serupa dengan kostum klub-klub sepak bola, kamarnya dipenuhi dengan poster para pemainnya, kendaraannya dihiasi dengan atribut-atribut olah- raga yang kini digemari banyak orang ini. Otomatis, ketika kita melihat tampilan fisik teman yang demikian, maka ingatan kita langsung tertuju kepada bola. Demikian pula, ketika ada kawan yang âgilaâ kuliner. Yang selalu berbicara mengenai rumah makan dan masakannya di berbagai tempat, dan banyak mencurahkan waktu untuk hoby-nya tersebut, maka melihat wajah orang yang demikian, akan mengingatkan kita pada makanan. Tidak jauh berbeda ketika kita memiliki kawan yang amat menjaga perkataan, tidak menyeru, kecuali menyeru kapada jalan Allah. Kita pun mengetahui bahwa ia selalu menjaga puasa dan shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Ia pun waraâ hati-hati dalam bermuamalah, maka bertemu dengannya, bisa membuat kita termotivasi untuk melakukan amalan yang labih baik dari sebelumnya. Apa yang telah dilakukan oleh para salaf di atas, mengingatkan kembali pada kita pada sebuah lantunan nasehat, yang sudah cukup akrab di telinga kita. Yakni nasehat âTombo Atiâ alias obat hati. âKaping telu wong kang sholeh kumpulonoâ. Cara yang ketiga mengobati hati yang qaswah, adalah mendekati orang-orang shalih. Kalau para ulama salaf saja masih merasa perlu mendekat kepada para shalihin hanya untuk memandang wajah mereka, guna melunakkan qaswah dalam hati dan memperbaiki diri. Lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah memilih, siapa sahabat-sahabat yang bisa mengingatkan kita kepada Allah, di saat kita memandangnya? Padahal kita sama-sama sadar bahwa kualitas keimanan mereka amat jauh berada di atas yang kita miliki. Nasihat Memilih Teman Kondisi teman, bisa berpengaruh banyak hal kapada kita, sehingga perlu bagi kita berhati-hati memilih teman. Setidaknya, itulah inti dari nasehat yang disebutkan oleh Imam Abu Laits, dimana beliau mengatakan,âSeorang tidak akan melakukan 8 hal, kecuali Allah akan memberinya 8 hal pula. Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta. Kalau ia akrab dengan orang miskin, maka timbul dalam hatinya rasa syukur dan qanaâah. Kalau ia berteman dengan penguasa, maka timbul rasa sombong. Kalau ia berdekatan dengan anak-anak maka ia banyak bermain. Kalau ia dekat dengan para wanita, maka syahwatnya akan timbul. Kalau ia berkarib dengan orang-orang fasiq, maka datang keinginan untuk menunda-nunda taubat. Kalau ia dekat dengan ahli ilmu, maka ilmunya akan bertambah. Kalau ia dekat dengan ahli ibadah, maka akan termotivasi melakukant ibadah yang lebih banyak.â Bughyah Al Mustarsyidin, 9. Keterangan Foto Suasana majelis hadits di perguruan Darul Ulum Deoband, Uttar Pradesh, India.
memandang wajah orang sholeh